Oleh: Agus Wahid
Analis dari Center for Public Policy Studies – INDONESIA
BERITAPOPULER.CO.ID – Untuk kemajuan, kedaulatan negara. Untuk persatuan dan keadilan seluruh rakyat. Itulah janji politik yang selalu dihembuskan para kontestan pada setiap event pemilihan presiden (pilpres). Hanya slogan, atau memang itu semua menjadi tekad bagi para kandidat pemimpin nasional melalui perhelatan demokrasi per lima tahunan itu?
Untuk menjawabnya, ada dua hal yang sangat mendasar: dalam domaian politik dan ekonomi. Dalam domain politik, sangat mudah untuk membaca prospektus itu. Yaitu, suasana persatuan akan terwujud jika perhelatan pilpres diselenggarakan dengan prinsip kejujuran. Dan untuk membangun public trust hanya satu kata kuncinya: transparansi dari para penyelenggara pilpres (unsur KPU, Bawaslu, Mahkamah Konstitusi, aparat keamanan dari unsur kepolisian ataupun tentara).
Jika beberapa elemen penyelenggara terlibat dalam pilpres secara tidak jujur dan tidak transparan, maka dipastikan bahwa konflik horisontal tak akan terelakkan. Sementara, di level elitis pun akan “mengipas-ngipas” reaksi lapisan horisontal itu. Maka, di atas kertas, kita dapat mencatat: pilpres di Tanah Air akan jauh dari harapan untuk mewujudkan nilai-nilai ideal Pancasila (Sila Ketiga). Faktualitas ini – seperti yang kita saksikan pada pilpres 2019 – dapat kita catat, seluruh elemen penyelenggara merupakan aktor penoda Pancasila. Dan tudingan itu pun layak dialamatkan kepada rezim berkuasa. Kemauan politik rezim yang memaksakan kehendaknya menjadi faktor determinan para penyelenggara tidak ada opsi lain kecuali harus memenuhi pesanan politiknya. Dan kemauan politik “nakal” ini direspons secara protagonis oleh para pendukungnya tanpa mengingat nilai-nilai luhur Pancasila, apalagi prinsip keagamaan yang mulia.
Sebuah renungan, apakah pilpres 2024 mendatang akan terjadi sketsa politik yang mirip seperti 2019? Sampai akhir Agustus kemarin, konflik vertikal dan horisontal masih membayangi. Landasannya – pertama – para penyelenggara sudah sesumbar: pasangan calon presiden-wakil presiden sudah ditentukan sebelum terjadi perhelatan pilpres. Sesumbar ini harus kita maknai bahwa kecurangan secara sistimatis-massif-terstruktur siap dieksekusi. Dan hal ini mendorong reaksi lawan kontestan dan massanya untuk melakukan perlawanan. Perlawanan itu tidak lagi hanya menunggu proses hukum di MK. Publik sudah sangat tahu siapa aktor penjegal keadilan di medan MK. Karenanya, heroisme secara mental dan fisik dipersiapkan jauh sebelum perhelatan. Isy kariiman aw mut syahiidan sudah membahana di berbagai kalangan. Daripada hidup terinjak oleh sang penjajah, maka berkalang tanah jauh lebih terhormat.
Namun – sebagai landasan kedua – bayang-bayang konflik itu relatif berkurang pasca Anies menentukan Muhaimin Iskandar sebagai bakal calon wakil presidennya (bacawapres). Di manakah korelasi krusialnya? Terletak pada hubungan emosionalitas-primordial keluarga besar PKB yang tak bisa dilepaskan dari jejaring bersama Ansor dan Banser, bahkan Nahdliyyin pada umumnya.
Yang perlu kita garis-bawahi, kalkulasinya bukan semata-mata prospektus kemenangan dari pasangan Anies-Muhaimin (AMIN), tapi persoalan politik (perstuan). Tak bisa dipungkiri, barisan Ansor-Banser-Nahdliyyin tak akan rela menyaksikan panorama pencurangan terulang lagi. Keberadaan Cak Imin dan Surya Paloh tahu persis permainan kotor pada pilpres 2019. Dan hal ini menjadi bekal untuk menggerakkan emosi kekecewaan barisan Ansor Cs untuk melancar aksi heroiknya. Satu hal yang dapat kita lansir lebih jauh, heroisme mereka bisa menjadi faktor pedal pengerem ketika menghadapi kekuatan lawan primordial (kaum Merah atau Komunis). Selama ini kaum Merah dan antek-antek Komunis sering mengeksploitase emosionalitas-primordial kaum Ansor-Banser-Nahdliyyin.
Sketsa politik itu akan menjadi sejarah penting bagi proses mewujudkan persatuan pasca pilres. Di sisi lain, bergabungnya Cak Imin bersama Koalisi Perubahan dan Persatuan juga – secara struktural dan moral – mengubah sikap dan tindak penyelenggara, terutama KPU dan Bawaslu. Niat buruk kedua lembaga penyelenggara langsung terkoreksi karena para kader NU, PMII ataupun Ansor dan Baser yang duduk di kursi KPU dan atau Bawaslu terpanggil sikap heroiknya untuk melawan skenario picik yang sudah dipersiapkan. Ada sketsa dekonstruksi politik.
Maka, restrukturisasi internal di lembaga KPU dan atau Bawaslu berpotensi besar untuk menjalani proses politik yang normal, kembali ke prinsip yang benar. Restrukturisasi ini – secara langsung atau tidak – mengurangi potensi kecurangan yang telah disiapkan secara rapi. Ketika kedua lembaga utama penyelengara “terehabilitasi”, maka dampaknya adalah kontraksi benturan fisik di lapangan. Juga, minimnya materi yang siap dipersengketakan. Jadi, tidaklah berlebihan jika muncul analisis bahwa masuknya Cak Imin bersama Anies Baswedan menjadi faktor pemulus dalam mewujudkan persatuan di Tanah Air ini. Dan hal ini berarti, ada titik temu antara slogan dan realisasi. Posisinya, bukan lagi slogan yang cenderung membual dan ingkar janji. Tapi, ada realisasi yang dapat kita nikmati secara nyata. Inilah cita-cita mulia.
Bagaimana dengan masalah persatuan dalam domain besar ekonomi? Apakah para kandidat hanya berslogan dan membual? Sangat tergantung dari langkah politiknya dalam mengarungi pilpres ini. Dalam hal ini kita mempertanyakan, siapa yang memback up sang kandidat? Ke mana arah program dan komitmen politiknya?
Dapat dijawab dengan mudah. Ketika para pemback upnya kalangan oligarki, maka dapat kita memprediksi seraca dini: sang capres tak akan pernah bicara keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia secara factual atau implementatif. Prinsip mereka kaum oligarki di manapun profit taking sebesar-besarnya. Tak peduli dengan pemandangan desparitas. Dan kekuasaan menjadi penopang untuk menggapai profit sebesar-besarnya dengan penuh proteksi secara politik dan hukum. Itulah sebabnya, kaum oligarki memback up kandidat presiden yang dinilai loyo secara integritas atau nasionalisme.
Potret capres seperti itu memang dicari, karena melalui pemimpin lemah serara moral-mental dan ideologis mudah disetir bahkan dijebak oleh ritme permainan kaum oligarki itu. Karena itu karakter oligarki yang picik dan licik tak akan pernah bicara masalah keadilan sosial-ekonomi. Karena itu pula, capres yang diback up kaum oligarki juga akan selalu seirama dengan para bohirnya: sayonara keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahkan, lebih tragis lagi: ekonomi nasional akan semakin tercengkeram. Seluruh sumber daya alam pun semakin ganas tergarong. Potret ketidakadilan ekonomi pun akan semakin meluas. Hal ini berkorelasi pada pemandangan persatuan yang samakin gelap. Bukan hanya fatamorgana.
Akan semakin fatamorgana ketika hiden agenda seperti IKN diwujudkan. Sebab, megaproyek IKN hanyalah etepe menuju neokolonialisasi fisik di Tanah Air ini. Berangkat dari IKN, akan berlanjut ke upaya mengepung beberapa daerah negeri ini. Bukan lagi dari desa mengepung kota. Tapi, dari ibukota menguasai pusat pemerintahan. Dan seluruh daerah harus takluk di bawah kendali Pusat.
Kini, kita perlu merenung jauh ke dalam, apakah pilpres akan semakin menenggelamkan prosepektus keadilan dan persatuan di negeri ini? Jawabnya sangat tergantung dari para pemilih negeri ini. Juga, kesadaran para elit yang notabene setia Pancasila dan agama yang suci. Sudah saatnya, para elitis tidak mengeksploitase keterbatasan ekonomi masyarakat dengan cara membiasakan serangan fajar yang hanya recehan. Para elitis sudah saatnya terpanggil untuk menatap negeri ini secara mulia, lalu bersama-sama menyongsong tokoh terbaik yang committed to keadilan bagi seluruh rakyat dan persatuan bagi anak bangsa. Itulah panggilan idealistik-nasionalistik yang memang tak mudah diwujudkan. Di sinilah nuraninya perlu disentuh: agar tak rela menjadi bagian komprador yang mengkhianati kepentingan bangsa dan negara ini. (*)