Oleh: Yanuardi Syukur
Peneliti Center for Strategic Policy Studies (CSPS) SKSG UI
BERITAPOPULER.CO.ID – Emas telah menjadi barang berharga dalam kehidupan manusia. “Emas adalah salah satu logam pertama yang menarik perhatian manusia,” demikian tulis Encyclopedia Britannica. Sejak 6000 tahun sebelum masehi, dunia kita terpaut erat antara interaksi manusia dan emas dalam konteks pencarian, penggalian, penjualan, penyimpanan, bahkan konflik dan perang. Tulisan ini hendak mengelaborasi relasi manusia dan kepemilikan emas dari masa lalu hingga masa kini.
Sejarah mencatat bahwa keberadaan emas sebagai bentuk kekayaan telah melintasi berbagai peradaban. Mulai dari peradaban Mesir Kuno dengan keindahan harta emas dalam makam para firaun, hingga zaman Romawi yang mencetak koin emas untuk memfasilitasi perdagangan internasional. Kepemilikan emas juga ditemukan dalam sejarah peradaban China, India, dan Amerika Latin, yang menganggapnya sebagai lambang status dan kekuasaan.
Ambil contoh Kesultanan Ternate. Sejak berdiri 1257 dipimpin Raja Baab Mansyur Malamo, kesultanan tersebut telah memiliki satu benda pusaka yang telah dijaga dan disakralkan, yakni mahkota sultan. Kompas (2016) menulis: “Mahkota itu terbuat dari rambut, lempengan emas, dan dihiasi oleh kurang lebih 113 batu permata. Batu permata itu antara lain safir, intan, berlian, zamrud, dan batu-batu dari seluruh penjuru dunia.” Demikian salah satu tanda pentingnya posisi emas dan batu permata dalam kebudayaan manusia.
Relasi Manusia dan Emas
Carl Sagan (1934-1996) adalah seorang astronom, astrofisikawan, kosmolog, penulis, dan komunikator sains Amerika Serikat menyebut bahwa alam semesta atau kosmos juga ada dalam diri kita, sebab “kita terbuat dari elemen-elemen bintang.” Dalam pemikiran Sagan, manusia–dengan kandungan logam dalam dirinya–ditempa di ‘tungku angkasa besar galaksi’ melalui fusi nuklir.
Aaron Parkhurst (2022), pengajar senior Antropologi Medis dan Biososial di University College London (UCL) dalam Coffee and Blood, menulis: “Gagasan bahwa kita semua ‘terbuat dari materi bintang’ itu, membingkai identitas kolektif. Bagi beberapa generasi ahli antropologi, kekerabatan dipahami sebagai tatanan masyarakat, sebuah konsep universal yang mengikat manusia dan dunia yang mereka huni.”
Keterikatan manusia dan emas–jika mengikuti pendapat Sagan dan Parkhust di atas, berarti tidak hanya soal kedekatan asal-usul tapi juga sebenarnya terkait dengan simbol. Setidaknya, sejak zaman kuno emas telah menjadi simbol kekayaan dan nilai. Manusia sejak lama telah memahami keunikan dan keindahan emas, yang membuatnya menjadi benda yang diinginkan. Sebagai logam mulia yang langka dan tahan lama, emas telah digunakan sebagai alat tukar, perhiasan, dan penyimpanan nilai.
Keterikatan manusia akan emas telah melintasi sejarah manusia sebagai simbol kekayaan dan nilai. Bisa jadi, seperti kata Parkhust di atas, bahwa kecintaan manusia pada emas adalah bagian dari ikatan kolektif manusia yang di dalam dirinya terkandung unsur emas. Dr Kathleen Smith, salah seorang peneliti dari Badan Survei Geologi AS (USGS) bahkan menyebut bahwa dalam feses manusia ditemukan kandungan emas walaupun pada tingkat minimal (BBC News, 2015).
Sabrina Toppa dalam artikelnya “Stinking Rich? Human Waste Contains Gold, Research Finds” (Time, 24 Maret 2015) menulis: “Para peneliti telah mendeteksi sejumlah kecil emas, perak, dan logam mulia lainnya dalam kotoran manusia dan sedang mengeksplorasi cara agar ekstraksinya dapat dilakukan secara komersial — sebuah langkah yang dapat menghalangi penyebaran logam di lingkungan dan mengurangi ketergantungan kita pada pertambangan.”
Relasi manusia dan emas tidak hanya karena ada nilai budaya, politik-ekonomi, atau lainnya akan tetapi bisa jadi karena manusia dengan kandungan emas–pada level paling minimum–juga karena dalam diri manusia ada ‘ikatan kekerabatan’ dengan dunia yang mereka huni, baik itu emas dan unsur-unsur lainnya.