Moh Ramli
Pegiat Media
BERITAPOPULER.CO.ID – Saat Prabowo Subianto mengumumkan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres di kediamannya, Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (22/10/2023) malam, apa dan siapa yang terlintas dipikiran Anda pertama kali?
Mungkin saya dan Anda sama. Terbayang wajah Megawati Soekarnoputri. Dalam pikiran saya, sedang apa Ketua Umum PDIP itu di rumahnya, di Jalan Teuku Umar, Menteng. Saat Prabowo mengumumkan kader Partai Banteng sebagai wakilnya itu.
Apa Presiden Indonesia ke-5 itu sedang menyaksikan langsung lewat telivisinya. Jika iya, apakah ia meneteskan air mata. Di malam itu, apakah ibu tercinta dari Puan Maharani tersebut bisa tidur nyenyak atau tidak.
Setidaknya keyakinan saya, saat itu Megawati paling tidak: kecewa. Dalam hatinya yang dalam, dia merasa dan bertanya, dosa besar apa yang pernah diperbuatnya hingga keluarga terhormat dari Solo itu meninggalkan dirinya begitu saja. Kontribusi seperti apa lagi yang kurang untuk keluarga Jokowi hingga dia dicampakkan begitu saja.
Padahal, atas keringat PDIP, Jokowi jadi Presiden Indonesia dua periode. Atas keringat PDIP, Gibran bisa mencicipi jadi Wali Kota Solo. Atas keringat PDIP pula, menantunya yakni Bobby Nasution berhasil menduduki kursi Wali Kota Medan dengan begitu mudahnya. Butuh berapa cangkir keringat lagi untuk membuktikan betapa sayangnya Megawati terhadap suami Iriana itu.
Ya, demikian pikiran saya malam itu. Ketika menyaksikan Prabowo, dikelilingi para petinggi partai pengusung dan pendukung, yang dengan gagah mengumumkan pada publik, bahwa putra sulung Presiden Jokowi, resmi dipinang untuk pesta demokrasi lima tahunan nanti.
Teririsnya hati Megawati oleh Jokowi bukan saat itu saja. Sebelumnya, ancang-ancang meninggal Partai Banteng, sudah diperlihatkannya sejak Kaesang Pangarep bergabung dan ditunjuk sebagai Ketua Umum PSI. Indikasinya, Jokowi ingin memutus trah politiknya di PDIP.
Dipilihnya Gibran oleh Prabowo sebagai cawapres pun tak ujug-ujug. Pun bukan dari ruang hampa. Prosesnya Anda sudah tahu: dramatis. Publik sangat begitu mudah membaca dan mengkritiknya. Namun, siapa punya kuasa, keinginan Presiden Jokowi benar-benar tak bisa dihalangi oleh apapun dan siapapun. Termasuk oleh Megawati. Perempuan yang sudah membesarkan namanya itu.
Siapa punya kuasa. Jokowi sebagai presiden benar-benar dibaca oleh publik telah menggunakan segala peralatan kekuasan untuk mendorong hasrat politiknya. Girban jauh-jauh hari diprediksi akan sampai pada titik ini. Lewat tangan pamannya yakni Anwar Usman, sebagai Ketua Mahkamah Keluarga (MK), ia dengan muda mendapat jalan mulus jadi cawapres.
Para pendukung dan pemuja fanatik Presiden Jokowi mati-matian membelahnya. Tak ada hubungannya pilihan politik Prabowo dan Gibran dengan mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut. Mereka yakin, Jokowi sebagai Kepala Negara, netral. Saya katakan itu adalah bullshit.
Begitu mahalnya jika kita percaya bahwa Presiden Jokowi tidak ikut cawe-cawe dalam keputusan Prabowo dan Gibran tersebut. Ini adalah politik. Begitu naifnya bila tak ada campur tangan Sang Presiden.
Apalagi dengan Prabowo yang secara masif memperlihatkan ke publik. Bahwa Ketua Umum Partai Gerindra itu mendapat restu dan dukungan dari Presiden Jokowi. Dengan adanya Gibran, ia ingin menyampaikan pada masyarakat Indonesia, bahwa Presiden Jokowi tak mendukung Ganjar Pranowo sebagai Capres 2024.
Kecewa
Saya merasa satu perasaan dengan Budayawan Goenawan Mohamad. Pendiri Media Tempo itu. Semua kritik yang saya utarakan terhadap rezim Jokowi, adalah sebagai kewajiban yang harus dilakukan. Ini adalah pertanggungjawaban saya secara pribadi pada Tuhan. Yang memutuskan jadi pendukung Jokowi sebagai presiden. Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 saya mencoblosnya.
Anda tahu, periode pertama, begitu sangat hebatnya sosok ini. Begitu tingginya apresiasi dan kepercayaan masyarakat. Pada Pilpres 2019, pengamat begitu yakin mantan Wali Kota Solo tersebut kembali terpilih. Itu karena, sebelumnya Jokowi sudah dianggap berhasil menakhodai Indonesia.
Rasa kecewa pada rezim Jokowi timbul di periode kedua. Khususnya akhir-akhir jabatannya yang akan segera habis ini. Jokowi memperlihatkan sebagai pemimpin yang lapar akan kekuasaan. Dilakukan dengan amat rapi, meski tetap terlihat tak elegan dan penuh intrik.
Presiden Jokowi seperti tak ingin namanya tertelan bumi begitu saja usai lengser dari kursinya tahun 2024 nanti. Kaesang dengan hanya hitungan hari berhasil jadi Ketua Umum PSI. Gibran dengan keputusan pamannya di MK, yang menyakiti akal sehat masyarakat, dengan mudah bisa jadi cawapres Prabowo.
Lalu, kita masih dipaksa untuk percaya bahwa semua skenario tersebut itu bukanlah settingan politik Presiden Jokowi?
Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (2004-2007) Hamid Awaluddin, dalam salah satu tulisannya mengatakan begini: “Semua pemimpin yang memaksakan anak dan keturunannya menjadi pengganti dirinya, akan berahir secara mengenaskan. Bukan membawa kebahagiaan bagi dirinya, apalagi bagi bangsa.”
Akhirnya, saya sebagai pendukung Jokowi jadi presiden di 2014 dan 2019, mendoakan agar jabatan sebagai Kepala Negara, yakni husnul khatimah. Namun, jika tetap pada pendiriannya pada politik ruang gelap itu, artinya Jokowi memang sedang mau “menggali lubang kuburnya sendiri.” (*)