Edi Sugianto
Ketua LPPM IAI Al Ghurabaa Jakarta, dan Dosen AIK UMJ
BERITAPOPULER.CO.ID – Para Capres-cawapres belum turun panggung, nitizen dan para pendukung setianya di seluruh penjuru dunia sudah ramai-ramai memperdebatkan gagasan dari jagoannya masing-masing.
Menurut saya, ini fenomena positif bagi demokrasi kita. Memang, apatisme politik harus terus diberangus, agar demokrasi kita semakin bermutu hingga akar rumput.
Di berbagai grup-grup Medsos. Mulai grup keluarga, alumni, dan komunitas-komunitas lainnya, ramai dengan komentar debat. Ada yang argumentatif, lelucon, dan irasional.
Kini, masyarakat mulai sadar bahwa dialog atau dialektika demokrasi adalah persoalan urgen. Misalnya, harga-harga bahan pokok dan layanan lainnya adalah output dari kebijakan pemerintah. So, salah memilih pemimpin, secara politik akan berakibat fatal bagi kebijakan-kebijakan kehidupan bermasyarakat, bisa lima tahun, bahkan berkelanjutan.
Menurut sebagian kalangan, format debat yang diadakan KPU adalah kurang menarik, sebab terlalu menoton. Misalnya, panelis seakan hanya bertugas pembuka soal, atau kurang interaktif.
Budaya dialektika dalam bentuk lisan (debat) tidak sama dengan tulisan. Mestinya, debat terbuka lebih asyik dibanding percakapan di potcast, kampus, dan Medsos. Namun, sepertinya fenomena memperdebatkan “debat” adalah lebih menarik dibanding dengan debat aslinya.
Debat antara Capres-cawapres boleh hanya 120 menit, tapi nitizen versus nitizen, atau nitizen versus buzzerRp bisa berhari-hari tetap memanas, kayak nasi dalam rice cooker, haha.
Tidak hanya penguasaan materi yang menjadi sorotan, etika debat pun sangat sensitif menjadi indikator penilaian publik. Respons antara satu Paslon dengan Paslon lainnya, baik lisan dan isyarat tak luput dari bidikan kamera demokrasi.
Qadarullah, hari ini saya menghadiri undangan lain di venue yang sama dengan debat Cawapres pendana, yaitu di JCC. Memang, hawanya masih terasa, meski kopi cappucino menjadi hidangan pembuka.
Sedappp memang, percakapan politik kita hari-hari ini, apalagi ini mendekati hari pencoblosan. Politisasi ibadah berbau penistaan agama, hingga singkatan-singkatan yang bernada gunjingan. Semua menjadi dinamika dan warna. Mau atau tidak, itulah demokratisasi yang tengah kita alami.
Meski, kondisi demokrasi kita tidak baik-baik saja di lingkaran elit, dan pengambil kebijakan, namun yakinlah masyarakat sebagai pilar penyanggah terakhir demokrasi tidak akan pernah runtuh diterpa kerakusan penguasa.
Kuncinya adalah teruslah memperdebatkan debat, demi kualitas demokrasi Indonesia di masa depan. Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi. Salam Demokrasi! (*)