Oleh: Moh Ramli
Pegiat Media dan Lulusan S2 Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA Jakarta
BERITAPOPULER.CO.ID – Saat pulang kerja pada Selasa (10/10/2023) malam. Sekitar pukul 20.00 WIB. Di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur. Saya dan para pengendara motor, mobil lainnya terpaksa berhenti di tengah jalan. Berhentinya kami bukan karena ada kecelakaan lalu lintas. Melainkan karena ada tawuran antar anak SMA. Aksi sok keren itu terjadi di depan mata kami. Mereka masih berseragam sekolah, atas putih, bawahan abu-abu, lengkap dengan sepatu warna hitamnya.
“Ke sini kalau berani, ke sini,” teriak mereka dengan bengis, menantang lawan-lawannya. Di tangan belasan bocah-bocah ingusan ini terdapat senjata tajam. Mereka menghunus-hunuskan senjata tersebut ke atas kepala mereka dengan penuh rasa gagah. Mengkilap-kilap.
Kami pengendara motor dan mobil serta para warga yang berdagang di sekitar tersebut seperti tak berkutik. Kami hanya menonton tanpa melerai dan mengeluarkan satu katapun. Kami tak mau menanggung resiko jika mereka menyerang kami dengan senjata-senjata tajam yang mereka pegang tersebut. Jika tidak begitu, bisa-bisa bagian tubuh kami tertumpas dan putus begitu saja di tangan anak SMA.
Bagi saya yang pernah menempuh bangku SMA di kampung di Pulau Sumenep, Madura, yang suasananya adem -ayem. Yang kenakalannya paling “banter” hanya sebatas mencuri buah jagung dan mangga, tentu hanya mengernyitkan dahi menyaksikan mirisnya anak-anak SMA Jakarta tersebut. Menyaksikan kebengisan anak-anak kemarin sore. Menyaksikan anak-anak yang kelak diharapkan menjadi generasi emas Tanah Air.
Kenakalan pelajar dan anak-anak asosial seperti ini semacam sudah tak jadi perhatian menarik dan serius masyarakat. Indikasinya mungkin; begitu klisenya dan masifnya problem ini. Akhirnya, aksi seperti perundingan, bullying, kekerasan seksual dan kemirisan lainnya di dunia pendidikan Indonesia, “terpaksa” dilumrahkan oleh masyarakat.
Kawan, Anda mungkin masih ingat dengan kasus bullying siswa SMP di Cilacap, Jawa Tengah bulan September lalu. Yang kasus perundungannya viral di video di media sosial. Akibat penganiayaan brutal itu, membuat korban mengalami cedera cukup parah, yakni tulang rusuknya mengalami patah. Jika melihat seksama video tersebut, begitu sangat mirisnya. Kini korban juga mengalami trauma. Menurut ilmu psikologi, butuh waktu tak sebentar untuk penyembuhan penyakit itu.
Lalu apa sih masalah mendasar dan yang harus segera diperbaiki untuk penyelesaian fenomena generasi problematis tersebut?
Hasanudin Abdurakhman (2016) misalnya dalam bukunya; “Melawan Miskin Pikiran” berpandangan, anak-anak asosial ini umumnya adalah anak-anak yang jauh dari orangtua. Mereka dibesarkan hanya dengan uang. Orangtua tidak tahu bagaimana berkomunikasi dengan mereka.
“Kesalahan anak hanya diganjar dengan kemarahan dan hukuman orangtua, tak jarang berupa kekerasan. Keakraban dan kehangatan keluarga tidak terasa di rumah. Ada pula orangtua yang menganggap kenakalan itu sebagai sesuatu yang hebat. Anak yang berani berkelahi dianggap anak hebat, karena pemberani. Anak tumbuh dalam arah yang salah,” katanya.
Lalu, apa yang dibutuhkan untuk mencegah terbentuknya anak-anak asosial ini? Ia menyampaikan, peran terpenting ada pada orangtua dan kemudian pada guru-guru di sekolah. Anak-anak harus diasuh dan dididik dalam keakraban dan kehangatan.
Nilai-nilai ditumbuhkan dengan kasih sayang, bukan permusuhan. Agama harus ditumbuhkan menjadi basis perilaku positif, bukan sekadar kumpulan ritual. Anak-anak harus diberi mimpi, kemudian diarahkan untuk melakukan berbagai kegiatan positif dalam rangka mengejar mimpi itu.
Optimisme bahwa mimpi itu akan tercapai adalah energi yang menjauhkan mereka dari kenakalan. Kebanggaan atas setiap pencapaian akan menjauhkan mereka pada kebanggaan atas kenakalan.
Tidak hanya itu, kata dia, lingkungan sosial juga harus peduli, tidak masak bodoh terhadap keberadaan mereka. Sikap apatis yang membiarkan mereka karena tiadanya hubungan pribadi dengan mereka adalah salah satu media untuk berkembangnya sikap-sikap negatif mereka.
So, menurut hemat saya, potret generasi menyedihkan atau anak-anak asosial seperti yang terjadi di atas, harus kembali digaungkan sebagai problem yang urgent. Para politikus yang kini duduk di kursi yudikatif, eksekutif, dan legislatif harus memandang hal ini serius. Harus mencari strategi atau undang-undang bagaimana persoalan ini bisa teratasi. Sekali lagi, seserius mungkin.
Orang tua di rumah pun demikian. Anda wajib membesarkan anak-anaknya dengan sungguh-sungguh. Posisikan mereka sebagai titipan dari Tuhan. Jangan biarkan anak-anak Anda dibesarkan hanya dengan uang, yang pada akhirnya hanya jadi sampah masyarakat, merugikan banyak pihak, merugikan mereka sendiri sebagai manusia. Dan lebih-lebih berakibat pada Anda sebagai orang tua, yang dimungkinkan jika tak amanah, akan rugi dunia-akhirat.
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah pahala yang besar.” (QS. At-Taghabun: 15). (*)